Rabu, 05 Desember 2007

Renungan Hati Bag JIwa Yang Hampa

Ketika puncak prestasi bersemayam dalam diri kita, seketika itu pula berbagai pujian bertengger di kedua telinga. Tanpa ragu pujian tersebut merambat pelan tapi pasti memasuki ruang-ruang relung hati, membelai mesra titik sanubari. Senyum sumringah merekah dipipi yang memancarkan pesona kebahagiaan.
Terima kasih, kalimat yang terlontar tuk membalas berbagai sanjungan yang terkadang tidak jelas latar belakangnya. Apakah betul kagum atas prestasi yang kita torehkan dalam sejarah hidup, atau sekedar basa basi belaka? Ada pula apresiasi histeria datang menghampiri yang di dasari oleh sifat kemunafikan. Hal ini bisa saja menjadi wajar kita terima, dengan alasan apakah ketika kita menjadi berarti bagi seseorang bukan dengan maksud dan tujuan tertentu? Apakah dalam membantu, kita tidak mengharapkan kata terima kasih? Bukan hanya dalam hubungan horizontal antara hamba, tetapi baik dalam hubungan vertikal antara dirinya dengan Pencipta sering terjadi kemunafikan.
Dua kalimat syahadat bagi umat Islam menjadi landasan utama dalam ikrar ketuhanan kepada Allah SWT, konsep tritunggal menjadi landasan ketuhanan umat Nasrani. Akan tetapi dalam realita kehidupan berketuhanan keduanya hanya menjadi satu hal yang menjadi formalitas belaka. Sebagai manusia yang meyakini adanya Tuhan, tentu menempatkan dirinya dalam posisi sebagai hamba, wujud nyata atas kebesaran Tuhannya. Akan tetapi setelah mengakui sendiri bahwa dirinya hanya merupakan hamba Tuhan, yang tidak mungkin ada ketika tidak ada yang mengadakan. Dan hal ini merupakan satu bentuk akan keterbatasan diri dalam berbagai aspek, namun setiap melakukan perintah dari Penciptanya seketika itu pula dalam hati terbersit kata “PAHALA”
Tuhan memang menjanjikan hakikat kebahagian bagi setiap hambanya ketika mampu melakukan fitrahnya sebagai hamba. Mengharapkan pahala memang tidak salah, itu merupakan bagian dari hak-hak kita setelah melaksanakan kewajiban. Bekerja kepada seseorang tentu mengharapkan imbalan, karena kita membutuhkan biaya hidup. Ini terjadi dalam hubungan horizontal, apakah metode ini tetap kita pakai dalam hubungan vertikal?
Kesempatan yang kita alami saat ini, ketika mata kita melihat aksara demi aksara diatas kertas ini dan gerakan lidah yang menimbulkan suara sehingga menyusun kata demi kata dalam bentuk kalimat dapat dialami setiap insan-insan yang terkadang melupakan asalnya. Bukankah merupakan anugerah indah dari Sang Khalik? Apakah kita masih membutuhkan kenikmatan lain? Atau kita tidak akan pernah merasa puas dalam hal seperti ini?
Mengapa devinisi kebahagiaan setiap manusia terkadang berbeda? Bukankah kita berasal dari satu sumber? Atau jangan sampai kita yang memaksakan perbedaan itu sendiri? Dengan alasan gengsi yang dikemas sedemikian rupa dalam bentuk strata sosial. Antara bangsawan dan rakyat jelata, kaya dan miskin sampai pemerintah dan masyarakat biasa.
Strata sosial demikian kah, yang menjadi kebahagiaan kita dan dapat mengangkat harkat martabat kita? Apakah kita telah melupakan atau memang tidak menghayati “PADI” makanan pokok masyarakat timur? Makin berisi makin merunduk. Berjuta manusia membutuhkannya tetapi tetap TAWADDHU rendah diri. Apakah air dari sumur kemanusiaan yang berada dalam padang jiwa telah kering?
Menuntut Tuhan untuk membalas segala kewajibannya, tanpa menyadari bahwa segala yang ada pada dirinya bukan merupakan hak milik sepenuhnya. Mari kita renungkan bersama!!! Apa yang harus kita tuntut dari Tuhan? Apakah kita memiliki sesuatu hal yang kita pinjamkan kepada Tuhan? Kalau tidak ada, bukankah kita manusia dengan karakter Ambisius bin Munafik? De’gaga siri’na, tidak ada malunya menurut orang bugis.
Melaksanakan kewajiban dengan mengharapkan nikmat surgawi adalah, merupakan penyembahan pedagang. Karena selalu mengharapkan keuntungan dari usahanya. Menunaikan segala perintah Tuhan karena takut akan azab-Nya adalah, merupakan penyembahan seorang budak. Hal ini disebabkan karena ada perasaan takut kepada tuannya. Menyadari akan ketidakmampuan dirinya selain izin Tuhan sehingga melakukan penyembahan dengan ikhlas serta merasa butuh akan kedekatan dirinya dengan Pencipta merupakan penyembahan kekasih Tuhan. Na issengngi siri’na, mengetahui akan penempatan dirinya.
Apakah kita ingin dipuji dengan landasan kemunafikan?

By : ANDY BENDO